Kamis, 21 Januari 2021

Hey, Kamu yang Mungkin Lupa Diri! Ini Surat dari Masa Lalu untukmu!

Sungguh aku kehabisan ide dan butuh waktu hampir setengah jam untuk memikirkan hal apa yang ingin kubahas.

Tapi setelah bolak-balik memikirkan alasanku membuat blog ini, akhirnya aku memutuskan untuk menulis 'sesuatu' yang selalu masuk dalam daftar prioritas dari resolusi tahunanku; sesuatu yang sudah pasti hingga kini tidak pernah tercapai. 

Baiklah, jadi isu klise yang ingin kubahas kali ini adalah tentang menjadi Dewasa. 

Apa yang mungkin terlintas di kepala jika kita berbicara mengenai kata dewasa?
Apakah sebuah kalimat yang berkata bahwa "Dewasa tidak diukur berdasarkan usia"? Majalah dewasa? Film dewasa? Atau mungkin sebuah kalimat yang sering kita dengar seperti, "anak kecil gak boleh ikut campur urusan orang dewasa"? atau Peter pan?

Ada beberapa makna dari kata dewasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
1. Sampai umur; akil balig
2. telah mencapai kematangan kelamin
3. matang (tentang pikiran, pandangan dan sebagainya)

Makna pertama dan kedua berbicara soal fisik, sehingga mudah dilihat dan ditentukan.
Namun poin ketiga mengenai pikiran dan pandangan, bersifat abstrak sehingga agak sulit untuk dinilai.

Baiklah, selanjutnya coba kita lihat apa yang dikatakan KBBI mengenai definisi pikiran.
Pikiran adalah gagasan dan proses mental. Berpikir memungkinkan seseorang untuk merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginan.
 
Definisi yang lebih sederhana, pikiran adalah gagasan tentang dunia dengan segala prosesnya dan bagaimana kita berespon terhadapnya; atau berpikir adalah cara bagaimana kita menghadirkan dunia dengan segala prosesnya dan respon kita terhadap hal tersebut.  
 
Sekarang mari kita pecah kalimat panjang bin njlimet ini menjadi tiga kata : cara, gagasan dan respon; lalu bayangkan dirimu sedang duduk di bawah pohon apel pada abad ke-17, saat tiba-tiba salah satu buahnya jatuh mengenai kepalamu. 

*Sumber foto: Pinterest

Apa yang akan kau lakukan? Mengaduh, marah-marah kemudian pergi untuk mencari tempat berteduh lainnya? 
Jika demikian, mungkin muatan di mata pelajaran Fisika bisa jauh lebih ringan karena teori gravitasi ditemukan jauh lebih lama dari seharusnya. Untung saja buah itu jatuh di kepala Isaac Newton, walau cerita mengenai ia ngaso di bawah pohon apel ini masih diperdebatkan keabsahannya hingga kini.
 
Lalu apa hubungan dari analogi ini dengan makna dewasa
Menurutku, begini...
 
Dunia berproses kepada siapa, kapan, dan di mana dengan cara berbeda. Sebagai contoh, hujan yang turun hari ini bisa jadi kesialan bagi seorang mahasiswi yang sedang terburu-buru menuju kampusnya untuk mengikuti ujian akhir. Namun di satu sisi, bisa menjadi berkah bagi seorang petani yang sudah berhari-hari menunggu hujan turun untuk mengairi sawahnya.

Hujan yang turun tanpa permisi tadi juga bisa saja menjadi ketidakuntungan bagi seorang ibu yang lupa mengangkat jemurannya. Namun, di sudut lain bentala ia bisa saja menjadi peluang untuk menambah uang saku bagi sekumpulan bocah ojek payung.

Dunia tidak pernah dan tidak akan berlaku adil. Maka seseorang yang dapat melihat fakta itu sebagaimana adanya, menghadirkan realitas secara bijaksana dengan caranya, kemudian dengan cerdik membuat gagasan atas ketidakadilan tersebut dan memberikan respon solusional adalah orang dewasa. Begitulah setidaknya pemahamanku akan makna dewasa.
 
Jika ditanya, "hal apa yang paling kusesali dalam hidup ini?", aku akan menjawab "terlambat mengenal diri sendiri dan mengetahui apa yang kuinginkan".
Tapi tak mengapa, karena kini 'sepertinya' aku sudah memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali", begitu kata guruku dulu. Sebuah kalimat yang kini kupakai untuk membesarkan hatiku yang sangat telat mengenal diri sendiri ini.

Walau kuakui, kalimat ini cukup defensif sebenarnya. Jika memang lebih baik terlambat, lalu mengapa ada tugas tambahan dan surat panggilan orangtua bagi siswa yang seringkali gagal merayu satpam sekolah untuk membuka pagar setelah jam 7.15? 
Entahlah, mungkin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bisa menjawabnya serta sekalianlah ia menjawab mengapa Ujian Nasional (UN) masih diberlakukan jika jelas-jelas kompetensi siswa berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang mereka terima di sekolah. Padahal secara terang-terangan kualitas pendidikan Indonesia di kota dan desa sama-sama meroket; satu meroket dengan gilang gemilang dan lainnya meroket malang melintang tak tentu arah.
 
"Dunia memang tidak adil", seolah menjadi raungan tanpa air mata yang dengan paksa kuterima dan telan bulat-bulat meski ia pahit tak kepalang. Salah satu contoh bentuk ketidakadilan paripurna dunia yang kuterima adalah ketika suatu hari dosenku berkata bahwa tulisanku 'lumayan' berantakan, sehingga tampaknya cukup layak bagiku untuk mengirimkan lamaran ke perusahaan media massa dan menjadi seorang wartawan.

Sayangnya yang berkata demikian adalah dosen pembimbing skripsiku yang dengan sangat bijaksana memilih waktu untuk mengatakan hal itu tepat di hari ketika aku meminta tanda tangannya sebagai bukti bahwa aku telah melakukan revisi terakhir pada skripsiku.
Secara eksplisit seluruh rangkaian cerita di atas berarti "Saya seorang mahasiswi Hubungan Internasional yang sedang sibuk mempersiapkan baju kebaya untuk acara wisuda, baru mengetahui bahwa saya memiliki kemampuan menulis setelah hidup hampir tanpa faedah selama 23 tahun".
Andai aku mengetahuinya lebih cepat, mungkin aku bisa melatih kemampuan menulisku jauh-jauh hari, menghasilkan uang dari karyaku dan bisa membeli sepasang ikan arwana! Sebuah cita-cita agung yang wafat sebelum waktunya oleh karena ketidakadilan dunia.

Sebuah ketidakadilan juga mungkin, ketika kini pada akhirnya aku menjadi seorang wartawan junior tanpa pengalaman menulis profesional yang harus belajar dari nol untuk mengejar ketertinggalanku.

Kendati demikian, keputusan dan tuntutan untuk menjadi dewasa bukan lagi sesuatu yang bisa kutawar jika masih ingin namaku tertera di kartu keluarga orangtuaku. 
 
Kutipan kalimat Pramoedya Ananta Toer yang berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, mengantarkanku membuat blog ini dan mulai belajar menulis sambil menepis bisikan setan yang berkata bahwa aku sudah terlambat. Yaaa... walaupun memang benar demikian. Tapi setidaknya, ketidakadilan ini bisa menjadi alasanku untuk memaklumi kesalahan yang tentu akan kutemui ketika menulis nanti.

*Sumber foto: Pinterest

Jadi, inilah dia... blog yang kutulis bagi diriku sendiri sebagai jejak digital di lain hari bahwa aku pernah berusaha menjadi dewasa dengan melawan ketidakadilan dunia padaku. Biarlah aku di 10, 15 atau bahkan 20 tahun ke depan melihat betapa buruk dan tidak ada artinya tulisan pertama yang kumuat di blog ini, sehingga nantinya aku tetap bisa mawas diri dan menyadari bahwa aku tak ubahnya seperti debu kecil di alam raya, lahir, menjalani masa muda, semakin dewasa, tua dan mati.

Jadi, bagaimana denganmu? Apa kamu sudah belajar menjadi dewasa?